Oleh Suci Halimatussadiah 
Ibu Pemerhati Umat


DPR telah mengesahkan cuti enam bulan bagi ibu melahirkan dengan kondisi khusus dalam rapat paripurna berupa Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) pada fase seribu hari pertama kehidupannya. (detiknews.com, 8/4/24)

Beberapa pihak memberikan respons positif, di antaranya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tuti Elfita, selaku Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak, dan Keluarga BPKK DPP mengatakan bahwa partainya menekankan pengesahan UU KIA berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak sebagai bagian integral dari keluarga.

Sementara ayah memiliki peran aktif dalam hal perlindungan, pendampingan, serta dukungan kepada keluarga untuk mencapai kesejahteraan yang optimal. Oleh karenanya, PKS mengapresiasi penambahan kata ayah di UU KIA dalam kewajibannya terhadap keluarga. (liputan6.com, 09/06/2024)

Apabila kita cermati lebih saksama, ada beberapa poin penting yang disasar UU KIA, di antaranya adalah ibu bekerja yang melahirkan. Mereka akan mendapatkan masa cuti hingga 6 bulan tanpa pemberhentian kerja dan tetap mendapat gaji penuh pada 4 bulan pertama dan mendapat gaji sebesar 75% pada bulan berikutnya selama masa cuti. 

Mampukah UU KIA ini menjadi solusi bagi kesejahteraan ibu dan anak? Seperti kita ketahui, ibu adalah kehidupan pertama anak. Ibu sejatinya sosok yang memperkenalkan anak, mulai dari tidak bisa apa-apa hingga dia mampu menghadapi dunia. 

Dalam Islam dikenal istilah al-umm wa rabbatul bayt, yaitu ibu memiliki peran sebagai madrasah pertama bagi anak, meliputi pengasuhan dan pendidikannya agar tercipta generasi pembangun peradaban. Proses pengasuhan dan pendidikan ini dilakukan seorang ibu kepada anaknya secara terus-menerus hingga usia anak mencapai tamyiz atau dianggap mampu membedakan hal yang buruk dan yang baik bagi dirinya.
 
Biasanya dicapai oleh anak usia tujuh tahun. Namun, peran pengasuhan ibu tidak berhenti sampai di situ, masih tetap diperlukan hingga anak mencapai usia balig atau dewasa. Atas dasar kebutuhan masa asuh yang lama tersebut, sudah jelas bahwa UU KIA belum mampu mengcover kesejahteraan anak dan ibu di bidang pengasuhan.

Selain itu, pemberian gaji selama cuti melahirkan hanyalah solusi parsial. Hal yang diperlukan ibu bukanlah gaji cuti selama 6 bulan, tetapi perlindungan agar ibu mampu memberikan pengasuhan secara total untuk menciptakan generasi cemerlang, mengembalikan peran ibu sesuai fitrahnya, yakni sebagai ibu dan pengatur keluarga. Bukan mengasuh selama 6 bulan, kemudian kembali berdikari mengejar karier. 

Permasalahan nafkah sejatinya adalah tanggung jawab laki-laki. Namun, sistem ekonomi kapitalisme telah mengubah tatanan tersebut. Saat kebutuhan semakin sulit, kaum perempuan dipaksa mengambil peran untuk memenuhi tuntutan hidup. Di sisi lain, sistem kapitalisme tanpa henti menggaungkan opini kesetaraan bahwa perempuan memiliki kedudukan dan hak yang sama untuk mengambil peran dan karier seperti laki-laki. 

Perempuan dianggap makin berdaya bila mampu hidup mandiri serta tidak menggantungkan diri terhadap orang lain. Inilah dampak sesungguhnya dari pemahaman sekuler, yaitu pemahaman yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Secara agama, kita tahu fitrah seorang ibu adalah pendidik generasinya. 

Namun kenyataan dalam kehidupan, posisi ibu dibenturkan dengan tuntutan berdikari dalam pemenuhan kebutuhan. Dua posisi ini tidak dapat dilakukan secara bersamaan dengan total. Pasti akan ada tugas yang tidak dapat dilaksanakan secara maksimal atau malah menjadi kurang optimal.

Islam sebagai agama sekaligus ideologi memiliki sistem ekonomi yang mampu menjamin tercapainya kesejahteraan rakyat, termasuk perempuan.  Tanpa meletakkan kewajiban mencari nafkah pada perempuan. 

Dalam mendukung peran laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga, negara dengan sistem ekonomi Islam akan hadir untuk memastikan setiap pemimpin keluarga mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak agar mampu memenuhi kebutuhan dasar kehidupan keluarganya. Seharusnya perempuan tidak perlu khawatir dengan keadaan ekonomi keluarga sehingga dapat terus fokus pada peran sesuai fitrahnya. 

Sistem ekonomi Islam juga akan membuat negara hadir dalam pemenuhan kebutuhan dasar publik, meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang dapat diperoleh masyarakat dengan akses yang mudah dan gratis. Dengan demikian perempuan akan mudah melaksanakan perannya dengan baik, tanpa adanya tuntutan mengambil peran untuk bekerja. 

Namun, Islam pun tidak melarang perempuan bekerja, dalam tatanan sistem ekonomi Islam perempuan bekerja hanya untuk memanfaatkan ilmu yang dimiliki, dengan batasan dan regulasi waktu yang ditentukan agar tidak mengganggu kewajibannya di rumah. Dari sini kita tahu bahwa hanya Islam yang dengan tulus dan saksama memperhatikan kesejahteraan Ibu dan anak, demi berjalannya posisi strategis dan politis peran keibuan dalam membangun generasi cemerlang.
 
Islam memuliakan perempuan dengan segala peran fitrahnya, bukan dari berapa banyak uang yang dihasilkannya. Begitulah kemuliaan perempuan di bawah sistem Islam. Semua itu hanya bisa terwujud bila diterapkan Islam secara kafah di muka bumi ini. 

Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama