Oleh Oom Rohmawati
Pegiat Literasi


Memasuki bulan November musim penghujan akan tiba, banjir dan longsor pun seolah menjadi langganan di beberapa daerah. Sehingga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, mengingatkan warga untuk mewaspadai potensi bencana tersebut.

Menurut Uka Suska,  kepala pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berdasarkan prediksi BMKG, wilayah Kabupaten Bandung sudah memasuki musim penghujan, beliau mengimbau agar masyarakat waspada karena kemungkinan terjadi banjir dan longsor yang cukup tinggi. Di antara wilayah yang dianggap rawan adalah Desa Penanjung, Kecamatan Cangkuang. Pemerintah pun memberikan sosialisasi. Di samping meningkatkan kewaspadaan pihaknya juga melakukan pemetaan bencana untuk pilkada serentak yang akan diselenggarakan 27 Maret 2024. Dengan mensiagakan perahu di titik rawan banjir untuk memudahkan para pemilih mendatangi TPS. (SoreangAyoBandung.com, 18/10/2024)

Banjir dan longsor merupakan masalah besar dan perlu penanganan yang serius dari pemerintah. Karena akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat, baik materi maupun immateri. Akan tetapi mengapa penguasa selalu gagal untuk mengantisipasi?

Padahal dari penyebabnya sendiri tentu sudah diketahui bahwa selain curah hujan tinggi, juga karena banyaknya infrastruktur yang menjadikan tanah beralih fungsi, semisal pembangunan perumahan, dan pembangunan pabrik. Belum lagi gundulnya hutan sehingga serapan air hilang. 

Namun dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler, tentu tidak mudah untuk mengantisipasi itu semua, karena ini berkaitan dengan orang-orang yang bermodal dan memberikan keuntungan. Artinya ada kerja sama antara penguasa dan pengusaha. Sehingga keberpihakan penguasa lebih condong kepada para oligarki daripada ke rakyat. 

Maka dari itu, tidak cukup penanggulangan bencana hanya sebatas imbauan kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan sekitar. Semisal hindari membuat rumah di pinggiran sungai, melaksanakan program tebang pilih dan reboisasi, buanglah sampah pada tempatnya. dan rajin membersihkan saluran air. Sementara pemberian izin secara mudah kepada para pengusaha tidak dibatasi termasuk membiarkan alih fungsi lahan yang berpotensi kerusakan lingkungan seperti alih fungsi hutan menjadi perkebunan, infrastruktur atau food estate.

Satu hal yang juga perlu dicemari dari imbauan Kepala BPBD adalah kampanye menjelang Pilkada yang tak lama lagi terselenggara. Daerah yang ditunjuk sebagai tempat sosialisasi bencana banjir mengandung makna tersirat bahwa  tempat tesebut sebagai target pemilihan agar proses Pilkada tidak terkendala banjir. Artinya bukan murni memberi solusi untuk daerah rawan banjir dengan solusi komprehensif tapi bersifat parsial agar penyelenggaraan Pilkada aman.

Padahal jika dipahami bahwa bencana banjir  bersifat sistemis, maka solusinya pun sistemis juga. Faktor cuaca ekstrem misalnya, terkait dengan isu perubahan iklim yang dipicu perilaku manusia yang kian niradab terhadap alam, termasuk akibat kebijakan pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.

Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Bukankah Allah Swt. telah menciptakan sistem hidup yang penuh keseimbangan alam dan harmoni? Sebagaimana firman-Nya: 

"Dan tetumbuhan dan pepohonan keduanya tunduk kepada-Nya. Dan langit telah ditinggikan-Nya, dan Dia ciptakan keseimbangan agar kalian jangan merusak keseimbangan itu dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kalian mengurai keseimbangan itu dan bumi telah dibentangkannya untuk makhlukNya ...." QS. Ar-Rahman:6-12) 

Kehadiran hujan  sejatinya mendatangkan rahmat, bukan menjadi laknat. Meluasnya bencana banjir menunjukkan cengkraman kapitalisme makin menggurita. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian tidak terkendali. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai. Volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran kali.

Mirisnya, itu terjadi karena persetujuan pemangku kebijakan berupa perizinan untuk mengelola lahan tertentu dengan jangka puluhan tahun. Bahkan, sebagian besarnya terjadi di atas tanah milik warga yang secara paksa harus meninggalkan tempat tersebut dengan dalih pembangunan atau masuk wilayah proyek strategi nasional seperti kasus Rempang.  Hal ini suatu keniscayaan karena negara dan para penguasa daerah merepresentasikan kepentingan para pengusaha. Bagi mereka keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan, tidak dipedulikan.

Kalaupun mitigasi bencana dilakukan hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Artinya, pemerintah tidak benar-benar berusaha menyentuh akar persoalan. Terlebih soal mitigasi ternyata sangat multisektoral, mulai soal pendidikan, litbang, teknologi, infrastruktur, regulasi atau kebijakan, dan tentunya butuh dana besar. Padahal semuanya masih menjadi problem besar bagi negara yang sudah tenggelam dalam utang. Sementara para kapitalis, pasti punya hitung-hitungan.

Sistem kapitalis berbeda dengan Islam. Di mana sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Zat Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam. Ajarannya benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Bahkan adab terhadap alam dikatakan bagian dari iman. Adanya kekhalifahan adalah refleksi dari fungsi penghambaan, maka siapa pun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.

Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.

 “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Semuanya bisa berjalan ketika aturan Islam diterapkan secara keseluruhan. Syariat inilah yang mengatur halal haram, mana yang boleh dan tidak hingga kerahmatan bisa dirasakan oleh seluruh alam.

Misalnya menetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Islam mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang. Lalu memberikan kewenangan pengelolaannya kepada negara sebagai pemelihara urusan rakyat, seraya dengan tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi secara serampangan sebagaimana biasa dilakukan dalam sistem sekarang.

Dalam sistem Islam terjadinya bencana dapat diminimalisir. Oleh karena itu, seluruh bencana yang terjadi pada masa itu statusnya lebih banyak sebagai musibah dan ujian, bukan dampak dari kerakusan dan niradab manusia yang jauh dari aturan syariat.

Maka seharusnya musibah seperti ini bisa memberi hikmah yang banyak, dan membuat umat manusia makin dekat kepada Allah Ta'ala. Bukan malah menambah jauh umat manusia dari syariat Allah Swt. Karena sejatinya penyebab bencana yang terus berulang hingga kehidupan umat kian sulit dan sempit adalah karena kebijakan yang diambil oleh penguasa tanpa arahan syarak. Maka solusi untuk mengakhiri persoalan banjir dan masalah lainnya, hanyalah dengan mengakhiri sistem batil kapitlisme dan beralih pada Islam yang diterapkan secara total dalam institusi pemerintahan Islam warisan Rasulullah Saw.

Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama