Oleh: Iin Sapaah
Bulog buang buang beras, sepertinya sudah biasa. Bahkan tak hanya buang beras , telur dan ayam di buang percuma sudah menjadi aktivitas ritual saja dengan dalih terlanjur busuk atau demi stabilitas harga.
Sekitar 20.000 ton beras dan 28 juta telur dan 7 juta bibit ayam harus dibuang percuma di bulan Desember ini. Berarti ratusan miliar rupiah uang negara harus hilang sia-sia. Ditambah dengan kerugian lain yang tak bisa dihitung dengan angka-angka. Termasuk kerugian yang menimpa para petani lokal yang terimbas kebijakan buruk penguasa.
Ironisnya, ritual ini dilakukan saat keuangan negara dan ekonomi mayoritas rakyat sedang buruk. Asian Development Bank (ADB) bersama internasional food Policy Research Institute bahwa di era 2016-2018 ada 22 juta rakyat yang menderita kelaparan. Hasil riset tersebut cukup untuk menampar rezim penguasa karena selama ini para pejabat dan segelintir rakyat, termasuk para selebritas dan sosialita kerap mempertontonkan gaya hidup mewah.
Munculnya fakta-fakta tersebut sesungguhnya mengungkap tentang betapa buruknya kinerja rezim penguasa. Khususnya terkait distribusi pangan. Di tengah surplus cadangan bahan pangan masih ada jutaan orang yang mengalami kelaparan..ko bisa?
Kasus busuknya 20 ribu ton beras ini diduga kuat muncul akibat kebijakan impor yang ugal-ugalan. Pemerintah menargetkan impor beras hingga 1,8 juta ton. Padahal stok cadangan di gudang Bulog masih cukup banyak dan situasinya menjelang panen raya. Alhasil ketika panen raya tiba, Bulog tak bisa menyerap beras petani lokal terlalu banyak. Di saat yang sama Bulog pun tak mungkin melakukan operasi pasar karena jumlah beras yang beredar begitu melimpah ruah. Maka wajar jika harga beras di tingkat petani pun menjadi murah.
Sebagai negara agraris, Indonesia tentu tak selayaknya menghadapi situasi semacam ini. Potensi alam yang subur dan sangat luas, sumber daya manusia dan hayati yang melimpah seharusnya menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang tinggi yang dengannya kesejahteraan masyarakat bisa terjamin, secara merata dan berkeadilan.
Sayangnya yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Di luar faktor alam yang memang kian tak menentu, kebijakan pangan yang diambil pemerintah justru kian memperlemah kondisi ketahanan pangan. Sehingga menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap ancaman krisis.
Padahal Indonesia pernah mengalami masa keemasan dalam produksi pangan di era 80an hingga berhasil mencapai swasembada. Indonesia saat itu bukan hanya mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menyimpan cadangan di gudang-gudang Bulog. Bahkan mampu menjadi negara eksportir pangan. Kondisi ini dapat difahami mengingat perhatian pemerintah saat itu terhadap masalah ketahanan pangan relatif tinggi. Di mana kelebihan pendapatan negara yang diperoleh dari perdagangan minyak bumi, langsung ditransfer untuk memajukan bidang pertanian melalui berbagai program mewujudkan ketahanan pangan.
Namun menurunnya pendapatan negara dari sektor minyak bumi akibat jebakan"asingisasi" sumber-sumber alam membuat pemerintah tak lagi punya dana lebih untuk mensubsidi sektor pertanian. Maka wajar jika para petani akhirnya kehilangan gairah berproduksi yang menyebabkan ketersediaan produk pangan terus berkurang bahkan lahan-lahan pertanian pun dialih fungsikan dan di jual.
Menghadapi realitas berkurangnya produksi pangan ini, pihak pemerintah dengan mudahnya mengambil kebijakan membuka lebar kran impor. Hingga pasar dalam negeri pun dibanjiri produk-produk pangan luar negeri. Termasuk beras sebagai komoditas pangan terpenting.
Dari hari ke hari, hingga puncaknya di rezim neolib hari ini, banyak pejabat negara yang ikut bermain untuk mendapat remah-remah keuntungan dengan bekerja sama memuluskan kepentingan asing melalui berbagai kebijakan dan undang-undang. Malah di antara mereka, tak sungkan-sungkan menunjukkan diri sebagai agen yang mengabdi pada kepentingan negara asing aseng.
Meski tidak mudah, kedaulatan ekonomi dan politik yang menjadi dasar tegaknya kedaulatan pangan, hanya mungkin dibangun jika pemerintah Indonesia berani melepaskan diri dari sistem kapitalisme neoliberal yang mengungkung dunia internasional. Karena sistem inilah yang telah begitu lama mengukuhkan penjajahan negara-negara besar atas negara-negara kecil melalui lembaga-lembaga internasional yang mereka ciptakan sebagai alatnya serta melalui para penguasa lokal sebagai eksekutornya.
Sebagai satu-satunya alternatif, sistem Islam bisa diandalkan untuk menghadapi kekuatan kapitalisme global yang kian hari kian menampakkan borok-boroknya, sekaligus mencegah munculnya penguasa yang mengabdi sebagai komprador asing. Sistem ini justru akan menjadikan negara/pemerintah sebagai alat/institusi politik penjaga, yang berkewajiban menegakkan hukum-hukum Allah termasuk yang terkait dengan kebijakkan ekonomi bidang pertanian, sekaligus menempatkan para penguasa hanyalah sebagai pelayan bagi umat.
Dalam sistem Islam, selain sebagai pelayan, penguasa juga di ibaratkan sebagai junnah ( benteng pelindung) bagi umat yang wajib menjaga mereka dari berbagai bahaya, termasuk berupa ancaman krisis pangan melalui penerapan kebijakan politik dan ekonomi yang kuat dan tegak di atas paradigma yang benar yakni akidah Islam.
Dalam konteks ketahanan pangan, Islam telah menggariskan kebijakan politik ekonomi pertanian yang kuat dan saling bertumpu pada bidang-bidang lainnya termasuk perindustrian. Strategi politik pertanian dan industri yang ditawarkan Islam ini, selain sangat berpihak kepada masyarakat secara umum, juga menjadikan kita bisa terlepas dari cengkraman dan penguasaan barat. Hal ini dikarenakan Islam telah menggariskan prinsip-prinsip dasar ekonomi menyangkut masalah kepemilikan, pengelolaan dan distribusi yang bertumpu pada keadilan hakiki, yang berbeda dengan kapitalisme yang menuhankan prinsif kebebasan. Hal ini didukung oleh adanya prinsif Kamandirian politik yang mencegah dan mengharamkan intervensi apalagi penguasa asing atas umat Islam melalui jalan apapun.
Wallahu'alam bishawab.
Posting Komentar