Oleh : Lilis Iyan Nuryanti, S.Pd


Musibah longsor terjadi di Dusun Bojong Kondang, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Sabtu (9/01/2021). Selain memporak porandakan puluhan rumah, tidak sedikit korban jiwa yang berjatuhan dalam insiden itu dan menyebabkan permukiman warga rata dengan tanah yang berdampak pada kurang lebih 600 penduduk.

Hingga saat ini Tim SAR gabungan berhasil mengevakuasi 24 korban tewas dan 25 korban luka. Sebanyak 16 orang lagi diperkirakan masih tertimbun material longsor. Dari 24 korban jiwa yang sudah dievakuasi, 20 orang berjenis kelamin laki-laki dan 4 orang berjenis kelamin perempuan. (DetikNews, 15/01/2021).

Lokasi longsor Sumedang berada di perbukitan bergelombang. Di bagian atas lereng terdapat perumahan dan di bagian bawah juga ada permukiman warga. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengungkapkan lereng yang mengalami longsor merupakan lahan terbuka tanpa vegetasi berakar kuat. Pihak pengembang pun akan diklarifikasi kepolisian. (CNN Indonesia, 13/01/2021)

Pakar Geologi sekaligus Dosen Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Dicky Muslim mengungkapkan, terdapat beberapa hasil analisis yang memperlihatkan penyebab bencana longsor tersebut. Dia mengatakan, berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan Pusat Riset Kebencanaan Unpad, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, serta sejumlah alumni Fakultas Teknik Geologi (FTG) Unpad ditemukan bahwa wilayah yang terjadi longsor memiliki kontur lahan yang curam dengan beberapa hasil temuan.

"Tadinya wilayah ini bekas tambang batu dan tanah urugan, lalu kemudian diratakan dan dijadikan perumahan," ujar Dicky dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Selasa (12/1/2021). 

Dia mengatakan, karena termasuk batuan vulkanik muda, maka lapisan tanah dan batuan ini cukup rentan. Kerentanan ini sudah terlihat sebelumnya di beberapa titik.

Kemudian, tim ahli pun menemukan batas bagian tenggara perumahan berhadapan dengan tebing yang dibatasi dengan saluran air. Diduga, kata dia, ketika hujan besar tiba saluran air itu terjadi peresapan atau infiltrasi dan membentuk bidang gelincir yang memungkinkan terjadinya longsor.

Sejumlah rumah yang berbatasan dengan tebing juga terlihat ada yang retak. Hal ini sudah mengindikasikan bahwa wilayah itu berpotensi terjadi pergeseran tanah yang akan memicu terjadinya longsor.

Diperparah dengan adanya proyek permukiman baru yang dibangun di atas tebing bagian utara dan tenggara perumahan SBG. Dicky mengatakan, adanya aktivitas lalu lintas alat berat di tebing tersebut turut menambah potensi longsor semakin besar.

"Secara geoteknik aktivitas tersebut melemahkan ikatan butir tanah di situ, sehingga berpotensi longsor. Apalagi memang sebelumnya wilayah longsor tersebut merupakan sengkedan yang ditanami pohon, kemudian ditebang dan di bagian bawahnya dijadikan perumahan," papar Dicky.

Bagian utara perumahan pun terdapat bekas galian tambang yang dibangun menjadi kawasan perumahan. Kata Dicky, berdasarkan penuturan warga di lokasi terdapat air terjun.

Secara geologi, keberadaan air terjun menandakan adanya sesar atau patahan. "Sehingga kalau ada hujan besar, gempa, akan ada pembebanan berlebih yang kemungkinan akan terjadi longsor," ungkapnya. (DetikNews, 12/01/2021).

Meski saat ini longsor sudah berhenti dan warga sudah mengungsi, namun bukan berarti daerah tersebut sudah aman dari ancaman longsor susulan. Faktor iklim, kondisi tanah dan alih fungsi hutan untuk perumahan menjadi salah satu penyebab terjadinya longsor.

Ironisnya, musibah seperti banjir dan longsor terus berulang sepanjang tahun tanpa upaya serius untuk memperbaiki kesalahan mendasar menyangkut paradigma pembangunan yang dikaitkan dengan keseimbangan ekologi. Wajar jika intensitas bencana makin sering terjadi dan luasannya pun terus bertambah.

Terbukti daerah-daerah yang sebelumnya dikenal tidak pernah banjir dan longsor tahun-tahun belakangan ini mulai terdampak banjir dan longsor. Di kota-kota besar semacam Jakarta, Bandung, banjir mulai lumrah terjadi.

Semestinya, pemerintah di semua level lebih serius mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan tata ruang wilayahnya. Bahkan jika perlu merevisi perencanaan pembangunan yang terbukti telah mendegradasi lingkungan sebagai salah satu penyebab bencana banjir dan longsor.

Penyebab utama bencana banjir dan longsor adalah paradigma pembangunan yang tak akomodatif terhadap daya dukung lingkungan. Bahkan tampak kebijakan pembangunan berparadigma sekuler kapitalistik selama ini hanya mengindahkan kepentingan para pemilik modal yang hanya berorientasi keuntungan materi.

Itulah kenapa, meningkatnya kasus bencana banjir dan longsor selalu sejalan dengan meningkatnya intensitas pembangunan multisektor di kawasan-kawasan dataran tinggi atau wilayah penyangga air. Seperti proyek perumahan, kawasan-kawasan wisata, kawasan perindustrian dan lain-lain.

Untuk di perkotaan, banjir juga sejalan dengan alih fungsi lahan sawah yang banyak terjadi. Baik untuk proyek perumahan, maupun pengembangan kawasan bisnis milik para kapitalis.

Pertanyaannya, apakah bencana ini memang tak bisa dihindari?
Menilik penyebabnya, maka banjir dan longsor adalah bencana yang sebagian faktor risikonya bisa dikendalikan manusia. Dalam hal ini menyangkut kebijakan penguasa terkait pemanfaatan lahan dan perencanaan pembangunan dikaitkan pengelolaan tata ruang kawasan.

Persoalannya, penerapan sistem pemerintahan demokrasi dengan paradigma sekuler kapitalistik yang diadopsi penguasa negeri ini telah membuat hal-hal di luar keuntungan materi menjadi terabaikan. Yang penting ada pembangunan dan keuntungan datang.

Terlebih, sistem pemerintahan seperti ini meniscayakan kolaborasi antara penguasa dan pengusaha dalam penetapan kebijakan. Hingga tak heran, banyak kebijakan yang justru melegitimasi para pemilik modal melakukan perusakan lingkungan, termasuk di daerah-daerah pedalaman, atas nama menggenjot investasi demi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Hal seperti ini tentu sangat bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, manusia diperintah menjaga dan mengelola alam dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan penciptaan. Bahkan menjaga alam ini lekat dengan tugasnya sebagai hamba Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum: 41).

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS al-A’raaf : 56)

Dalam hal ini, Islam tak hanya memerintahkan untuk mengelola bumi dengan baik dan melarang untuk merusaknya, tapi juga memberi cara-caranya. Yakni berupa seperangkat aturan Islam yang melekat pada karakter manusia sebagai individu, sebagai masyarakat, bahkan dalam konteks negara.

Sebagai individu, Islam mengajarkan hukum syariat soal adab kepada alam dan lingkungan. Begitu pun masyarakat, diberi peran penting dengan kewajiban menjaga tradisi amar makruf nahi mungkar.

Sementara kepada penguasa atau negara, Islam memberi porsi besar dalam penjagaan alam semesta. Karena Islam menetapkan fungsi negara sebagai pengatur dan juga pelindung sekaligus berperan menegakkan aturan Islam yang sejatinya memang diturunkan untuk menjaga keseimbangan alam hingga mewujud kerahmatan.

Dimulai dari aturan kepemimpinan atau sistem pemerintahan Khilafah yang berdimensi ruhiyah. Pemimpin, tak hanya bertanggung jawab pada rakyat, tapi juga pada Pemilik Alam Semesta. Maka khalifah akan tercegah dari konflik kepentingan dalam kebijakan-kebijakannya.

Dalam sistem ekonominya, Islam jelas membagi soal kepemilikan. Mana yang boleh dimiliki individu, mana yang merupakan milik umum dan negara. Maka Islam tak akan membiarkan para kapitalis dan penguasa rakus untuk merusak lahan-lahan milik umum demi keuntungan sesaat.

Islam juga punya sistem sanksi yang menjaga agar pelanggaran tak lazim terjadi. Islam akan menghukum berat pihak-pihak yang melanggar hak umat dan menimbulkan kemudaratan bahkan jika terjadi pada dirinya sendiri.

Dalam implementasinya, negara Khilafah akan merancang strategi pembangunan dengan paradigma lurus dan komprehensif. Semata-mata bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat dan pelestarian alam dan lingkungan. Termasuk dalam perkara tata kelola wilayah, pembangunan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, kebijakan infokom, dan lain-lain.

Sungguh hanya aturan Islam yang telah memberi aturan komprehensif agar segala bencana tak kerap terjadi. Penerapan aturan Islam secara kaffah yang didorong spirit ketakwaan dipastikan akan mendatangkan kehidupan penuh berkah.

Dan hal ini pernah mewujud dalam sebuah peradaban cemerlang kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah belasan abad lamanya. Sebagaimana yang dijanjikan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf : 96)

Sudah saatnya kita kembali ke jalan Allah, sebelum datang isyarat langit yang lebih dahsyat. Yakni dengan segera menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama