Oleh : Nadia SL


BEM UI juluki presiden Jokowi sebagai The King of Lip Service (Pemimpin Pembual) dalam unggahannya di media sosial. Julukan tersebut menarasikan Jokowi kerap kali mengobral janji manis, tetapi tak sesuai dengan realita. Katanya begini, faktanya begitu. Presiden mananggapi unggahan tersebut sebagai sebuah hal yang biasa. 

Namun faktanya, kritikan tersebut mengakibatkan peretasan akun sejumlah pengurus BEM. Sementara itu, pihak Universitas mengeluarkan surat panggilan untuk pengurus BEM. Pemanggilan yang dilakukan oleh pihak rektorat UI terhadap BEM UI ini menuai kontroversi protes di kalangan mahasiswa.

Ketua BEM Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Farhan angkat bicara. Dia menyatakan BEM UGM berdiri di samping BEM UI.
"Kami bersolidaritas dengan bersikap bersama kawan-kawan lintas universitas pada forum Aliansi BEM SI @bemsi.official, yang sudah diterbitkan pada pagi tadi," kata Farhan dikonfirmasi, Senin (28/6). Farhan menjelaskan persoalan seperti ini tidak hanya dihadapi BEM UI. Hak serupa sebelumnya sempat menimpa pihaknya dan apa yang dilakukan oleh rektorat UI menurutnya juga merupakan bukti nyata kemunduran demokrasi. Terlebih DPR saat ini ingin mengesahkan RKUHP yang mengandung pasal-pasal mengekang kebebasan berekspresi. (Kumparan news, 28/06/2021).

Pemanggilan terhadap BEM UI merupakan bentuk pembungkaman yang dilakukan oleh pihak rektorat UI. Hal ini kemudian menjadi tanda tanya besar terhadap demokrasi yang faktanya tidak mampu memberikan kebebasan pada siapa saja yang tidak pro terhadap pemerintah.

Nampak bualan semata bahwa demokrasi memberi ruang kebebasan berpendapat dan  berserikat/berkumpul. Kebebasan berpendapat hanya untuk mereka yang tunduk pada rezim. Narasi yang pro dengan rezim dipandang positif, sedangkan yang bertentangan justru sebaliknya.
Kesadaran mahasiswa atas kebobrokan sistem politik demokrasi hendaknya memperjelas keberpihakan mereka menuju perubahan. Dengan begitu, sikap kritis mahasiswa harus diiringi dengan kesadaran bahwa rusaknya tatanan pemerintah bukan karena person semata, tapi juga sistemnya.

Salah satu sebab keruntuhan suatu negeri adalah pemimpin yang tidak amanah. Selain itu, kerusakan juga ada pada sistem pengaturan. Seluruh permasalahan yang terjadi saat ini tak lepas dari sistem hidup yang dijalankan. Sehingga perubahan harus menyangkut kedua hal tersebut sekaligus. 
Mahasiswa sebagai agen of change tentu tidak akan diam melihat kedzaliman. Bergerak melakukan amar ma'ruf sebagai bentuk cinta dan kasih sayang terhadap negri ini. Disamping apapun risiko yang akan dihadapi, termasuk berada diposisi lawan ketika pemimpin itu ingkar dan mendapat tindakan represif.

Pantaslah jika dikatakan bahwa demokrasi adalah sistem ilusi yang membual akan jaminan kebebasan berpendapat. Nyatanya, kebebasan berpendapat itu hanya untuk kepentingan segelintir pihak.
Tentu ini berbeda dengan sistem Islam, di mana melakukan aktivitas muhasabah lil hukkam (aktivitas mengoreksi penguasa) merupakan aktivitas yang dibenarkan bahkan dianjurkan. Terlebih mengoreksi segala kezaliman yang dilakukan. 

Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran terhadap penguasa yang zalim.”

Mengkritik berbeda dengan menghina. Menghina tentu tidak diperbolehkan. Sayangnya dalam sistem demokrasi, segalanya menjadi bias. Benar tidaknya sesuatu kadang diserahkan pada rezim yang sedang berkuasa. Jika demikian adanya, masihkah kita berharap pada demokrasi .
Wallahualam a'lam bishshawwab. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama