Oleh : Sri Haryati
IRT dan Member Akademi Menulis Kreatif


Sudah hampir satu setengah tahun pandemi terjadi di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Namun belum terlihat adanya perubahan, malah semakin menjadi-jadi dan semakin mengganas karena adanya varian baru yaitu virus delta yang berasal dari India. 

Sudah berbagai macam kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengurangi peningkatan jumlah kasus virus Covid-19. Diantaranya; PSBB, PSBB Transisi, PSBB Ketat, PSBB Transisi 2, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat, PPKM Level 3-4. Namun, lonjakan kasus yang terpapar virus Covid-19 masih saja terjadi bahkan terus bertambah.

Dikutip dari, CNN Indonesia (25/07/2021). Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 di sejumlah wilayah Pulau Jawa dan Bali hingga 2 Agustus. PPKM Level 4 kembali diperpanjang guna menekan lonjakan kasus virus corona (Covid-19).

"Dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, aspek ekonomi, dan dinamika sosial, saya memutuskan untuk melanjutkan penerapan PPKM level 4 dari tanggal 26 Juli sampai dengan 2 Agustus 2021," kata Presiden Jokowi lewat konferensi pers, Minggu (25/7)

PPKM Level 4 merupakan kebijakan pemerintah dalam menanggulangi lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia. Berbagai pembatasan diterapkan di banyak sektor. Tak sedikit pula jalan yang ditutup guna menekan mobilitas masyarakat.

Sebelumnya, sejumlah kalangan menolak PPKM Level 4 diperpanjang. Terutama para pedagang dan pelaku usaha yang merasa pembatasan mobilitas masyarakat membuat omset mereka turun drastis. Bahkan pedagang kaki lima di Bandung sempat mengibarkan bendera putih.

Unjuk rasa menolak perpanjangan PPKM juga terjadi di Bandung. Begitu banyak orang yang turun ke jalan menyuarakan aspirasi tentang penolakan mereka terhadap perpanjangan PPKM.

Penolakan yang terjadi di masyarakat bukan tanpa dasar, mereka kecewa dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Karena selama PPKM diberlakukan, masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena tidak adanya jaminan dari pemerintah selama masyarakat harus tinggal di rumah. Bagaimana mungkin masyarakat dibiarkan diam di rumah tanpa adanya jaminan yang pasti dari pemerintah? Bagi PNS mungkin tidak jadi masalah, karena mereka dapat bekerja dari rumah (WFH) dan tetap mendapatkan gaji bulanan. 

Namun, bagi sebagian masyarakat yang setiap hari harus bekerja di luar rumah dengan jumlah penghasilan yang belum tentu dan sangat kecil bahkan sangat bergantung dari penghasilan harian, bagaimana mungkin mereka diam saja di rumah tanpa jaminan terpenuhi kebutuhan pokok mereka?

Andai saja, selama PPKM diberlakukan pemerintah menjamin biaya kebutuhan rakyatnya, maka ketika PPKM harus diperpanjang sampai virus Covid-19 hilang. Dipastikan rakyat akan legowo menerima keputusan itu. Namun, karena sistem kapitalisme yang diemban pemerintah saat ini. Keputusan yang diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tetapi berdasarkan kepentingan kapitalistik. Dalam sistem kapitalisme subsidi yang diberikan untuk rakyat dianggap beban negara, tetapi pada saat yang sama menjadikan pajak dari rakyat sebagai tumpuan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Lihat saja, bagaimana negara bersikukuh tak mau menerapkan karantina wilayah (lockdown). Karena pemberlakuan karantina wilayah memiliki konsekuensi penggunaan anggaran negara yang lebih besar. Anggaran pada karantina wilayah sudah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Dalam UU tersebut disebutkan, karantina kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Masih menurut UU Nomor 6 Tahun 2018, diatur berbagai cara dalam penerapan karantina kesehatan antara lain meliputi isolasi, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan PSBB.

Dalam pasal 1 ayat (10) berbunyi, "Karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi".

Sementara untuk PSBB yang kemudian digantikan dengan PPKM diterangkan dalam pasal 1 ayat (11), di mana PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Dari sisi anggaran, untuk karantina rumah sakit dan karantina wilayah, kebutuhan dasar seperti kebutuhan makan yang berada di dalam zona karantina tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah (APBN).

Lebih jelasnya untuk karantina wilayah, hal tersebut diatur dalam pasal 55 ayat (1) yang berbunyi "Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,".

"Tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait," bunyi Pasal 55 ayat (2).

Sementara dalam penerapan PSBB di pasal 59, UU tersebut tak mencantumkan pemenuhan kebutuhan dasar, baik manusia maupun ternak di zona karantina. Dikutip dari KOMPAS.com, (10/07/2021).

Nampak jelas sekali pemerintah ingin menghindari pasal 55 ayat (1) dan (2). Sehingga hanya berganti-ganti istilah saja, namun terlihat jelas menghindari kewajiban dan tanggung jawabnya jika diterapkan karantina wilayah/lockdown.
 
Paradigma kapitalisme sudah terbukti menjerumuskan negara pada kegagalan mengatasi pandemi. Sudah 1,5 tahun pandemi berlangsung tanpa bisa diprediksi kapan berakhir. Kondisi darurat hari ini lebih dari cukup untuk menjadi alasan bagi pemerintah untuk membuang model alokasi anggaran ala kapitalisme dan wajib beralih pada model alokasi anggaran sistem Islam.

Pandemi adalah problem kesehatan yang terkait erat dengan problem ekonomi rakyat yang terdampak. Konsep Islam dalam penanganan pandemi adalah lockdown untuk mencegah penularan lebih luas, melalui isolasi terpusat pada masyarakat yang terkena wabah dan yang sehat dalam wilayah yang berbeda. Orang yang sakit otomatis tidak bisa bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga, sehingga tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok keluarga secara layak menjadi tanggungan negara.

Sementara untuk penanganan kesehatan negara wajib menanggung semua pembiayaan tanpa kecuali. Seluruh kebutuhan faskes dan nakes dibiayai negara. Obat-obatan, vaksin, alat kesehatan, oksigen, laboratorium, rumah sakit, dan intensive nakes, semua disediakan dan dibiayai negara.

Dari mana biaya anggaran didapatkan? Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka dalam sistem Islam boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya. Negara yang pemimpinnya beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir akan tunduk menerapkan syariat Islam. 

Karena pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab penuh terhadap rakyat yang dipimpinnya. Jadi, masalah kesehatan ini adalah masalah utama negara yang akan mendapat prioritas. Pemimpin dalam sistem Islam akan senantiasa sungguh-sungguh menjalankan amanahnya dalam melindungi nyawa rakyatnya, apalagi pada masa pandemi wabah penyakit.

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw., 
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). 

Maka, kebijakan yang diambil dalam Islam tak hanya menyelesaikan problematika pandemi wabah penyakit saja. Namun, menyelesaikan semua problematika yang menyertainya secara menyeluruh, efektif dan solutif. Wallahu a’lam bish-shawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama