Oleh. Mala Hanafie 
Aktivis Muslimah Jakarta


"Jika kita muslim yang terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati yang tidak berpuasa." (Gus Dur).

Dalam sebuah foto yang tersebar di media sosial terpampang spanduk bertulis kalimat yang berasal dari mendiang mantan petinggi di negeri ini. Dari sebuah video singkat lain, seorang Dosen universitas Islam ternama mengatakan hal senada, "yang berpuasa jangan gila hormat". (Cnnindonesia.com, 05/04/2022)

Belum lagi pegiat media sosial yang seolah kebal hukum meski komentar-komentar nyelenehnya sering kali menuai kontroversi, dia lewat akunnya @/permadiaktivis2 ikut berceloteh, "Bulan puasa rumah makan tolong tutup ya, hargai yang puasa.. LEMAH AMAT IMAN LO, CONG!". Fenomena sosial ini memang bukanlah yang pertama. Merunut pada tahun kebelakang, hal serupa kerap ada, berulang kali terjadi. 

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menegaskan, warung makan tidak perlu tutup pada siang hari selama bulan Ramadan.  

“Warung tak usah ditutup jualannya, tapi makannya jangan dipamerkan kepada orang yang sedang berpuasa. Di bulan Ramadan warung-warung tidak usah tutup tetapi jangan ngeblak atau secara terbuka makan dan minum di depan orang-orang yang sedang menjalankan ibadah puasa,” kata Ketua MUI Cholil Nafis. (Jawapos.com, 30/03/2022) 

Sembari mengajak kepada umat Islam untuk saling menghargai, Dia menegaskan, “Yang puasa jangan menutup hajat orang lain, tapi yang tak puasa jangan menodai bulan Ramadan. Ayo saling tenggang rasa dan saling menghormati.”

Di kesempatan yang lain Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Amirsyah Tambunan meminta tidak ada pihak yang melakukan razia atau sweeping di tempat makan selama Bulan Ramadan. Dia berdalih bahwa kegiatan perekonomian harus tetap berjalan di bulan Ramadan. 

Di Balik Topeng Toleransi

Isu-isu toleransi hampir selalu bergema jelang bulan Ramadan, kencangnya arus opini untuk menghormati perbedaan yang sebenarnya bukan permasalahan utama saat ini. Umat muslim kerap dibenturkan dengan pemikiran-pemikiran rusak dan logika sesat yang dikampanyekan oleh kaum liberal sekuler. Umat muslim terus dipojokan dengan tuduhan-tunduhan intoleran. Begitupun halnya yang terjadi pada bulan Ramadan, ketika meminta warung makan untuk tidak beroperasional pada siang hari predikat intorelan langsung disematkan pada diri umat muslim. Sebaliknya ajakan menghormati orang yang tidak berpuasa menggema akibat pemahaman fasad yang dibawa oleh aktivis Liberal.

Meski pada mulanya alasan mengizinkan warung makan untuk tetap buka pada siang hari bulan Ramadan adalah dengan mempertimbangkan orang-orang yang tidak berpuasa karena memiliki udzur syar'i. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa yang mengisi tempat duduk di warung-warung makan tersebut tidak selalu perempuan, pun tidak dengan uzur yang membolehkannya untuk meninggalkan puasa Ramadan. Bukan pula orang-orang kafir yang memang tidak memiliki kewajiban berpuasa.

Dari sini terlihat jelas, bahwa kebijakan yang diambil dengan alasan adanya orang-orang yang sedang dalam kondisi tidak bisa berpuasa malah menjadi peluang terjadinya kemaksiatan bagi orang fasik dan munafik yang memang enggan menjalankan ibadah shaum Ramadan. Terlebih yang melatar belakangi bolehnya warung makan tetap buka pada siang hari bulan Ramadan adalah sebagai aktuvitas penggerak ekonomi. Lagi-lagi materi jadi standar atas segala kebijakan di negeri ini. Sebuah negeri dengan mayoritas muslim terbesar nyatanya hanya mampu berpijak pada kacamata untung-rugi.
 
Bersembunyi dibalik topeng toleransi, umat Islam hari ini dibawa untuk memaklumi kesalahan dan kerusakan sosial yang ada di depan mata. Memaklumi kemaksiatan dan para pelakunya. Dalam bingkai kehidupan sekuler kapitalis  ibadah puasa Ramadan yang wajib seolah menjadi sebuah pilihan yang sah saja bila ditinggalkan. Menggerus syiar-syiar Islam. Menodai kemuliaan ramadhan.


Puasa dan Penguasa
 
Ų§Ł„ŲµِّŁŠَŲ§Ł…ُ Ų¬ُŁ†َّŲ©ٌ
“Puasa adalah perisai” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana perisai yang berfungsi sebagai tameng. Puasa merupakan tameng bagi diri seorang muslim. Sebab puasa menjadi rambu-rambu untuk menahan hawa nafsu. Makan dan minum yang semula dihalalkan, menjadi terlarang dengan datangnya waktu imsak. Dan tentulah muslim yang sedang berpuasa akan berusaha menjaga diri dari segala hal yang Allah haramkan. 

Puasa Ramadan bukan sekedar tidak makan dan minum. Atmosfir kebaikan bulan Ramadan mendorong setiap muslim untuk berlomba melakukan amalan-amalan lainnya. Karena kesadaran yang ada di dalam diri orang yang sedang berpuasa menahan umat muslim dari perbuatan yang dapat merusak pahala puasa. 

Jelaslah bahwa persoalan menutup warung makan di siang hari bulan Ramadan, bukan tentang persoalan kemubahan berjualan di bulan Ramadan, melainkan aturan yang diambil dalam rangka menciptakan suasana ketaatan. Menghadirkan kondisi yang dapat memudahkan setiap muslim untuk mengisi Ramadan dengan kebaikan. Melahirkan kesadaran untuk menghormati kemuliaan bulan Ramadan. 

Sebuah gambaran ideal yang bisa terwujudkan bila mindset para penguasa bukan hal matrealistik melainkan tujuan-tujuan akhirat. Hanya mengharapkan rida Allah semata.

Ų§Ł„Ų„ِŁ…َŲ§Ł…ُ Ų±َŲ§Ų¹ٍ ŁˆَŁ‡ُŁˆَ Ł…َŲ³ْŲ¤ُŁˆْŁ„ٌ Ų¹َŁ†ْ Ų±َŲ¹ِŁŠَّŲŖِŁ‡ِ
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Ketika seorang penguasa memahami fungsinya sebagai 'penggembala' segala aturan dan kebijakan diputuskan hanya bersandar pada kacamata agama. Syariat yang menjadi sumber hukumnya. Begitupun halnya saat membolehkan usaha warung makan di siang hari bulan Ramadan. Tentulah dengan pengawasan untuk memastikan tidak ada muslim yang tidak berpuasa tanpa adanya uzur yang dibenarkan oleh syara, bukan pembiaran seperti yang kini terjadi. 

Kesyahduhan Ramadan baru akan tercipta secara ideal bila asas kehidupan hanya mengacu pada aturan-aturan syariat. Kondisi yang tentunya tidak bisa ditemui dalam sistem sekuler hari ini. Wallahu'alam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama