Oleh Fira Ummu Abdullaah 
Praktisi pendidikan

Diakui atau tidak sesungguhnya negeri tercinta ini belumlah mampu untuk bangkit dari segala sisi. Sudah merdeka, tetapi realitasnya masih terpenjara. Di tengah meriahnya merayakan kemerdekaan, mayoritas rakyat justru masih hidup dalam kesengsaraan. Kemiskinan di mana-mana, akibatnya jutaan balita menderita kurang gizi, hajat hidup pokok masyarakat tidak terpenuhi, kebodohan menjangkiti generasi yang turut tergerus arus liberalisme, kriminalitas merajalela, kesehatan dan keamanan hanya mampu dibeli oleh segelintir orang kaya saja. 

Padahal dirgahayu kemerdekaan memiliki tema yang luar biasa menggugah langkah, "Pulih Lebih Cepat,  Bangkit Lebih Kuat" begitu bunyi tema HUT RI ke-77 beberapa hari lalu yang tertuang dalam surat edaran Menteri Sekretaris Negara. Tema tersebut memuat harapan agar Indonesia bisa bangkit dari peristiwa pandemi Covid-19 dua tahun terakhir ini 
(detiknews, 11/8/2022)

Bukan hanya ketimpangan sosial yang tergambar jelas, bahkan alam negeri ini tak lagi suci, sungai dipenuhi limbah industri, hutan  klimis bening ibarat kelereng, tak lagi berpohon. Laut dan udaranya tak lagi segar, sudah dipenuhi polusi. Semua akibat keserakahan manusia. Maka wajarlah bencana alam datang bertubi-tubi menimpa negeri ini. 

Belum lagi tindakan tak adil yang terpampang nyata terhadap para ulama, mereka dipersekusi. Penistaan agama terus berulang terjadi. Namun,  sayangnya ketika para elite politik mengambil hak rakyatnya, mereka bebas lepas landas tanpa rasa bersalah. Sungguh ironis. Apakah ini yang dinamakan negeri yang merdeka, bangkit, juga kuat? Apakah kemerdekaan hakiki itu sejatinya sudah kita dapatkan? 

Kemerdekaan meliputi kemerdekaan individu, masyarakat, dan negara. Individu dikatakan merdeka ketika mampu berperilaku benar sesuai keyakinannya yakni Islam sebagai agamanya dan mampu bersikap mandiri, bukan karena tekanan atau sekadar membebek pada orang lain atau ajaran agama lain yang sudah jelas bertentangan dengan syariat Islam. Masyarakat dikatakan merdeka dalam Islam ketika mampu menjalani pola pikir dan gaya hidup yang terlepas dari kungkungan budaya lain selain Islam. 

Adapun negara dikatakan merdeka saat negara tersebut mampu terbebas dari berbagai bentuk penjajahan, baik secara fisik, politik, ekonomi, juga budaya. Negara secara otomatis mampu menerapkan aturan, secara bebas dalam melindungi rakyat tanpa tekanan atau intimidasi dari negara yang pernah menjajah atau bahkan negara lainnya. 

Bagi umat Islam tentulah negara tersebut harus sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw. yaitu sebuah negara yang menerapkan aturan Allah dalam seluruh kebijakan dan aspek kehidupan. Yakni dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan lainnya. Semua diatur dalam sebuah mekanisme khas yang kita sebut sebagai Khilafah. "Imamah (Khilafah)  adalah suatu kepemimpinan menyeluruh dan suatu pengaturan yang terkait dengan urusan khusus dan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia." 
(Al-Juwaini, Ghiyatsul Umam, hlm 15)

Berikut merupakan cara Islam untuk meraih kemerdekaan. Pertama, Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk dan manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah Swt. Rasulullah Saw. menulis surat kepada penduduk Najran yang berisi misi pembebasan tersebut:

أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ

Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dengan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dengan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia). (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 5/553)

Islam datang menghapuskan sikap tirani para raja, kaisar, kaum bangsawan, dan kaum feodal terhadap sesama manusia. Islam mengajarkan bahwa prinsip kesetaraan dan kemuliaan hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah Swt. Allah Swt. berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ 

"Sungguh yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (TQS. al-Hujurat [49]: 13).

Sebaliknya, sekularisme yang melahirkan kapitalisme justru menciptakan kelas-kelas sosial, lalu memberikan privilese kepada kaum kaya dan para penguasa. Mereka bisa menguasai sumber daya ekonomi, juga bisa menentukan hukum. Islam justru menempatkan manusia setara di mata hukum.

Dalam sistem pemerintahan Islam tak ada privilese (keistimewaan) bagi para pejabat dan keluarganya dengan memanfaatkan hukum dan fasilitas negara. 

Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra. pernah membeli sejumlah unta. Ia lalu menggembalakan unta-unta tersebut di kawasan unta-unta zakat hingga unta-unta miliknya gemuk dan harganya bertambah mahal. Ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. mengetahui hal itu, beliau berkata pada anaknya, “Tidak ada yang menjadi milikmu selain modalnya saja. Adapun kelebihannya harus dimasukkan ke Baitul Mal kaum Muslim!”

Kedua, Islam membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu. Keselamatan dan kebahagiaan seorang muslim adalah ketika ia bisa menundukkan hawa nafsunya pada aturan Allah Swt. manusia menyangka dengan hidup bebas tanpa aturan mereka mendapatkan kemerdekaan. Hal yang terjadi mereka justru menjadi budak hawa nafsu yang akan menyeret mereka ke dalam kebinasaan. Rasulullah Saw. bersabda:

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ 

"Ada tiga perkara yang membinasakan: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan membanggakan diri sendiri. (HR al-Baihaqi)

Kemerdekaan yang dirasakan umat hari ini justru mendorong manusia melampiaskan hawa nafsu untuk mencari kesenangan jasadiah (hedonisme) yang malah melahirkan tekanan jiwa dan sosial. 

Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut angka prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Indonesia sekitar 1 dari 5 penduduk di Indonesia.

Sebaliknya, Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki sifat cukup (qana’ah) terhadap karunia Allah Swt. kekayaan bukan diukur dari keberlimpahan materi, tetapi dari kekayaan hati. Nabi Saw. bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

"Kaya itu bukanlah dengan memiliki banyak harta. Akan tetapi, kaya itu adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR Muttafaq ‘alayh)

Sungguh negeri ini belum merdeka secara hakiki. Penghambaan kepada sesama manusia serta ketundukan pada ideologi dan kepentingan asing masih terjadi. Kekayaan alam negeri ini masih terus dieksploitasi oleh asing sebagaimana dulu mereka merampok rempah-rempah dari negeri ini. 

Jiwa umat juga belum merdeka akibat budaya hedonisme yang diciptakan ideologi batil dari Barat: kapitalisme. Kita terus dijauhkan dari ketaatan pada hukum-hukum Allah Swt. Barat terus mengobarkan islamofobia hingga banyak dari umat ini membenci agamanya sendiri.

Oleh karena itu raihlah kemerdekaan hakiki dengan mengokohkan ketaatan kepada Allah, dengan melaksanakan seluruh syariat-Nya agar kita menjadi orang merdeka. 

Allah Swt. berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menghambakan diri kepada-Ku." (TQS. adz-Dzariyat [51]: 56)

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama