Oleh Leihana
Ibu Pemerhati Umat 


"Tak ada rotan akar pun jadi", makna peribahasa ini adalah sesuatu yang bisa digantikan dengan sesuatu yang lain. Namun, bukan berarti sesuatu itu dibalik, bukan berarti sesuatu yang tidak pokok diganti menjadi yang pokok. Seperti upaya pemerintah mengonversi penggunaan gas elpiji menjadi listrik sebagai sumber energi rumah tangga untuk memasak dan bahan bakar kendaraan bermotor. Sebab, penggunaan gas elpiji di rumah tangga saat ini telah menjadi kebutuhan pokok, ketika digantikan dengan kompor listrik akan muncul kesulitan lainnya seperti perangkat alat-alat dapur yang tidak bisa digunakan di atas kompor listrik tersebut. Sehingga upaya mengonversi gas elpiji ke kompor listrik atau perangkat listrik lainnya bukan membantu memudahkan masyarakat, tetapi justru menambah beban baru. 

Rencana pemerintah bagi-bagi 680.000 rice cooker atau penanak nasi listrik dengan anggaran Rp340 miliar mendapat dukungan dari Komisi VII DPR. Bahkan, Wakil Ketua Komisi VII DPR Fraksi PAN Eddy Soeparno mendorong uji coba pemberian penanak nasi listrik gratis segera dilakukan. Padahal tujuan pembagian rice cooker ini adalah untuk menghemat penggunaan gas LPG 3KG dengan penggunaan rice cooker gratis tersebut diprediksi dapat menghemat subsidi gas LPG 3KG sebesar Rp52,2 miliar. Jelas program ini bukan hanya mubazir, juga memboroskan anggaran negara lebih banyak lagi. (Kompas.tv, 3 /12/2022)

Program mubazir lainnya yang rencana akan dilakukan pemerintah adalah pemberian subsidi bagi pembeli motor listrik senilai Rp6,5 juta per unit, sebagaimana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan pemerintah berencana memberikan subsidi sekitar Rp6,5 juta bagi masyarakat yang membeli motor listrik. Pada 2024, pemerintah menargetkan penggunaan 1,2 juta unit sepeda motor listrik. Setiap motor listrik akan disubsidi Rp6,5 juta. Untuk mencapai target itu, pemerintah setidaknya akan menggelontorkan hingga Rp7,8 triliun. Namun, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno memandang bahwa  lebih tepat anggaran tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas transportasi publik yang lebih baik sehingga akan lebih banyak masyarakat yang akan memilih moda transportaasi umum daripada menambah jumlah kendaraan pribadi semacam motor listrik yang akan memicu masalah baru seperti kemacetan dan kesulitan mencari tepat pengisian ulang listrik di tengah perjalan. (Bbc.com, 2 /12/ 2022)

Berbeda dengan Djoko Setijowarno  Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono justru menyambut baik  regulasi baru yang rencana akan dijalankan pemerintah tahun depan ini. Menurut Warih industri telah menunggu regulasi yang mendukung penggunanaan elektrifikasi bahkan Warih mendorong agar subsidi tersebut diperluas hingga penggunaan kendaraan roda empat berenergi listrik karena aturan tersebut sudah seharusnya menurutnya. (Otomotif.bisnis.com, 2 /12/2022)

Konversi ke motor listrik, sebagaimana mobil listrik,  dianggap lebih menguntungkan secara keuangan bagi negara dan masyarakat, serta pro-lingkungan.  Demikian juga pembagian rice cooker  dianggap akan menghemat penggunaan LPG 3 kilogram sehingga mengurangi impor LPG dan meningkatkan  konsumsi listrik domestik. Program ini tampak sangat terburu-buru dan kurang perhitungan, karena secara hitungan kasar saja jumlah nominal yang harus dikeluarkan untuk membeli rice cooker gratis tidak sebanding dengan efisensi penggunaan gas LPG 3 kg yang hanya menghemat anggaran subsidi Rp52 miliar sedangkan anggaran yang harus digelontorkan untuk membeli 680.000 rice cooker ini mencapai Rp340 miliar. Sehingga program ini justru jelas merupakan bentuk pemborosan dan hanya menguntungkan produsen rice cooker semata. Program konversi motor BBM ke motor listrik  juga tidak sejalan dengan  realita di lapangan. Fasilitas penunjang untuk pengisian listrik belum banyak tersedia, sementara penghematan atas pengurangan  penggunaan BBM juga tidak signifikan.  Hal yang pasti,  program tersebut  jelas akan menguntungkan pengusaha semata sebagai produsen kendaraan bermotor bertenaga listrik tersebut.

Inilah potret negara kapitalis, yang lebih berpihak kepada pengusaha dan oligarki daripada untuk kepentingan rakyatnya. Program dan kebijakan yang diputuskan pemerintah selalu berat sebelah dan selalu berpihak kepada segelintir pihak pemilik modal atau para kapitalis saja. Uang rakyat dalam anggaran negara kerap menjadi sumber pembiayaan program yang menguntungkan para kapitalis, sedangkan rakyat dipersulit dengan harus membayar pajak dari berbagai lini  supaya anggaran tersebut mencukupi. Berdiri di balik kepentingan rakyat dan kampanye energi hijau program pemerintah tentang energi selalu memberatkan rakyat. Rakyat diharuskan mengencangkan ikat pinggang berhemat menggunakan energi dan diarahkan menggunakan energi alternatif yang lebih menyulitkan. Sedangkan para pejabat dan pengusaha tidak pernah merasakan dampaknya karena mereka kaum berkecukupan yang mampu membayar mahal energi yang lebih mudah diperoleh.

Berbeda dengan sistem dalam institusi Islam yang justru berusaha memenuhi kebutuhan rakyat dan menyejahterakannya. Penghematan dan keprihatinan terhadap kondisi ekonomi sulit selalu dimulai dari aparat pemerintahan tertinggi yaitu khalifah sebagai kepala begara. Tercatat dalam sejarah Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah adalah pribadi yang kaya raya, tetapi setelah menjabat sebagai kepala negara, dirinya dan bahkan istrinya menyedekahkan seluruh hartanya ke baitulmal (pusat keuangan negara). 

Menurut khadimat (pelayannya) setelah menjabat, khalifah mengonsumsi makanan yang lebih sederhana darinya karena Umar bin Abdul Aziz khawatir akan rakyatnya jika ada yang kesulitan dalam makanan. Namun sejarah justru mencatat rakyat dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz seluruhnya sejahtera hingga pada masanya tidak ada satu pun rakyat yang berhak menerima zakat artinya tidak ada rakyat yang terkategori fakir miskin. Apalagi negeri kaya seperti Indonesia yang salah satu daerahnya yaitu Aceh adalah sumber gas terbesar di dunia, tetapi pemerintah begitu memaksakan penghematan dan konversi energi gas ke listrik hanya karena listrik domestik tidak terserap seluruhnya. Sedangkan sumber energi listrik di Tanah Air masih bersumber dari minyak bumi yang merupakan energi tidak terbarukan. 

Program konversi gas dan minyak bumi ke listrik jelas adalah  program untuk kalangan pengusaha oligarki semata yang bersembunyi di balik kampanye energi hijau ramah lingkungan. Untuk menjamin ketersediaan energi yang murah dan mudah bagi rakyat tidak ada alternatif lain selain kembali menerapkan sistem Islam kafah yang memiliki aturan sstem ekonomi yang berpihak pada rakyat dan mengatur kepemilikan maupun energi dengan adil. 
Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama