Oleh Shinta Putri
Muslimah Pengubah Peradaban


Indonesian Corruption Watch (ICW), menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg), yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023.

Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024, di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik. (VOAIndonesia, 28/08/2023)

Ada beberapa bekas napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bacaleg. Dulu sempat ada larangan dari KPU, namun pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. Semua warga negara berhak untuk mendapatkan haknya di setiap aktivitas kehidupan, tak terkecuali dalam urusan perpolitikan.

Keputusan ini sebenarnya perlu dikaji ulang lagi. Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Hal ini menunjukan pihak KPU kurang terbuka dan akuntabel dalam Pemilu. Sebab KPU terkesan menyembunyikan status calon legislatif. Padahal dalam mengajukan diri sebagai caleg butuh SKCK, surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian.

Berarti SKCK ini hanya sekedar formalitas saja. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut, mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi.

Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali. Korupsi di negeri belum bisa terselesaikan sampai saat ini, mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, hukum bisa dibeli. Bahkan malah ada yang mengulang lagi korupsi yang lebih besar.

Dengan attitude buruk seorang napi, apakah bisa menjadi pemimpin rakyat, menampung aspirasi rakyat dengan adil dan amanah. Perlu dipertimbangkan lagi seorang napi menjadi caleg. Padahal di negeri ini banyak orang-orang intelektual yang lebih layak mengemban amanah menjadi caleg.

Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa, agar amanah dalam menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat. Disamping itu dia harus mempunyai kemampuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Bukan hanya mengandalkan uang untuk jadi pemimpin umat.

Sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku  kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi dalam Islam sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Bagi para napi yang mempunyai dosa melakukan korupsi, maka dipastikan dia akan bertobat, dan di larang untuk mendapat amanah yang penting.

Negara juga mengkaji ulang bahwa para kandidat calon penerima amanah benar-benar mempunyai syarat yang sudah ditentukan oleh negara. Sehingga tidak akan asal memilih calon penerima amanah. Dilihat dari catatan hidupnya dan latar belakang kehidupannya.

Betapa detail jika Islam yang mengatur, maka tidak akan terjadi kesalahan dalam memilih calon penerima amanah. Meskipun ada kesalahan itupun tidak separah yang terjadi dalam sistem demokrasi yang sangat  rusak. Bagaimana nasib rakyat jika yang memimpin mantan napi? Masihkan yakin perubahan yang lebih baik jika yang mengatur sistem demokrasi.

Saatnya beralih dari sistem kufur kepada sistem Islam yang "Rahmatan Lil Al-Amin". Perubahan kehidupan yang lebih baik jika kita mau menjadi orang yang beriman dan bertaqwa ikuti aturan yang sudah di tetapkan Allah SWT.
Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama