Oleh Endah Dwianti, S.E., CA., M.Ak.
Pengusaha
Kerap kali toleransi disalahartikan. Sehingga terus berulang setiap tahun. Sejatinya, toleransi adalah di saat kita tidak mengganggu urusan ibadah atau perayaan hari besar agama lain dan tidak perlu ikut merayakannya.
Setiap akhir tahun, seruan toleransi dalam menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) kembali menggema. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, misalnya, mengajak warga untuk memperkuat toleransi beragama demi menjaga keharmonisan bangsa. (Jawapos.com, 2024)
Seruan serupa juga disampaikan oleh banyak tokoh dan pejabat publik, termasuk Menteri Agama. Ia menekankan pentingnya moderasi beragama sebagai pijakan dalam merayakan keberagaman. (Radarampit.com, 2024)
Namun, seruan toleransi yang kebablasan ini perlu diwaspadai. Dalam konteks umat Islam, toleransi yang melampaui batas-batas syariat justru dapat membahayakan akidah. Dengan dalih menjaga harmoni, sebagian umat terjebak dalam praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Situasi ini semakin diperburuk oleh lemahnya pemahaman terhadap tugas negara dalam menjaga akidah umat.
HAM dan Moderasi Beragama: Pisau Bermata Dua
Hak Asasi Manusia (HAM) sering digunakan sebagai pijakan dalam kampanye toleransi tanpa batas. Ironisnya, pendekatan ini justru menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang lurus. Islam sebagai agama yang sempurna telah menetapkan batasan yang jelas dalam interaksi dengan agama lain, termasuk dalam konteks perayaan hari besar keagamaan.
Kampanye moderasi beragama, yang kerap digaungkan oleh pemerintah, juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, moderasi beragama bertujuan menjaga kerukunan, tetapi di sisi lain, ia sering disalahpahami sebagai ajakan untuk melonggarkan komitmen terhadap ajaran agama. Akibatnya, banyak umat Islam yang tidak lagi memahami di mana batas-batas toleransi yang diizinkan dalam Islam.
Islam dan Prinsip Toleransi yang Hakiki
Islam adalah agama yang menghormati keberagaman dan memberikan panduan yang jelas dalam menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat. Toleransi dalam Islam bukanlah toleransi tanpa batas, melainkan toleransi yang tetap berlandaskan hukum syarak.
Allah Swt. berfirman:
"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini menjadi prinsip dasar dalam berinteraksi dengan agama lain. Islam tidak melarang umatnya hidup berdampingan dengan penganut agama lain, tetapi tetap dengan menjaga identitas dan akidah Islam.
Dalam Islam, interaksi dengan penganut agama lain tidak boleh sampai mengarah pada perayaan, dukungan, atau pengakuan terhadap keyakinan yang bertentangan dengan tauhid. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa menjaga akidah umat adalah kewajiban utama.
Peran Negara dalam Menjaga Akidah Umat
Salah satu alasan mengapa seruan toleransi kebablasan ini terus berulang adalah karena negara tidak menjalankan fungsinya sebagai penjaga akidah umat. Dalam sistem Islam, tugas penguasa adalah memastikan umat tetap terikat pada aturan Allah Swt., termasuk dalam momen-momen yang berpotensi melemahkan akidah.
1. Nasihat Takwa dari Pemimpin
Pemimpin dalam sistem Islam berkewajiban memberikan nasihat takwa kepada rakyat. Dalam momen menjelang perayaan hari besar agama lain, pemimpin akan mengingatkan umat tentang pentingnya menjaga akidah dan batasan-batasan toleransi yang sesuai dengan syariat.
2. Penerangan oleh Departemen Penerangan Islam
Negara juga memiliki lembaga khusus yang bertugas memberikan edukasi kepada masyarakat tentang panduan Islam dalam menyikapi perayaan agama lain. Ini termasuk penjelasan bahwa umat Islam tidak diperbolehkan ikut serta dalam perayaan atau simbol-simbol yang bertentangan dengan ajaran Islam.
3. Kadi Hisbah sebagai Pengawas Akidah
Dalam Islam, terdapat lembaga kadi hisbah yang bertugas mengawasi aktivitas masyarakat. Kadi hisbah akan memberikan penjelasan langsung di tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi umat Islam dengan agama lain, seperti di pusat perbelanjaan, tempat kerja, atau sekolah.
Solusi: Kembali kepada Islam Kafah
Toleransi kebablasan yang terjadi menjelang Nataru adalah cerminan kegagalan sistem sekuler dalam menjaga akidah umat. Selama negara tidak berperan sebagai penjaga akidah, umat akan terus terjebak dalam praktik yang bertentangan dengan syariat.
Islam menawarkan solusi yang jelas dan tegas. Dengan menerapkan syariat Islam secara kafah, negara akan memastikan bahwa toleransi dijalankan sesuai dengan batasan syariat, tanpa mengorbankan akidah umat.
Kini, saatnya umat Islam kembali menyadari pentingnya menjaga akidah dan menuntut negara untuk menjalankan fungsinya sebagai penjaga agama. Hanya dengan kembali kepada Islam kafah, umat dapat hidup dalam harmoni yang hakiki tanpa mengorbankan identitas keimanan.
Wallahualam bissawab. []
Posting Komentar